Senin, 02 April 2012

Perlindungan Konsumen

REVIEW JURNAL PERLINDUNGAN KONSUMEN

KELOMPOK SOFTSKILL

- Siti Hutami
- Berry Alkata Nandalawi
- Insya Fatwa
- Singgih Pranoto
- Yoga Pradipta

KELAS 2EB06

ABSTRAK

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

PENDAHULUAN

Konsumen berasal dari kata “Customer” yang sering kali Anda ucapkan yang artinya adalah pelanggan dimana kalau awalannya kita buang dan terus kita tambahkan akhiran maka akan berubah menjadi “Langganan”.
Dan kata “Langganan” memberikan arti bahwa seorang “Pembeli” akan terus membeli sesuatu secara berulang-ulang.
Sedangkan kata “Pembeli” dalam bahasa Inggris adalah buyer atau purchaser, namun kita sudah terbiasa menggunakan kata “Customer” alias pelanggan.

PEMBAHASAN

Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan Konsumen Dalam Bab ini kami akan membahas tentang Perlindungan Konsumen.Mungkin jika orang mendengar kata perlindungan konsumen akan mengartikan atau mencernanya sebagai perlindungan terhadap para konsumen terutama dalam dunia perdagangan atau bisnis. Seringkali para konsumen tidak mendapatkan hak nya secara terpenuhi terutama dalam perlindungan, untuk itu adanya undang-undang mengenai perlindungan konsumen membantu dan menjamin garansi terhadap barang atau jasa yang dibeli konsumen agar transaksi dalam bidang apapun menjadi lebih terjaga dan terpercaya dan memberikan hak nya sebagai konsumen. Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen. UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.

Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah: Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen Pengertian Konsumen Konsumen berasal dari bahasa Belanda “Konsument” artinya memakai.
Menurut para sarjana konsumen diartikan pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka dari para produsen. Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentng perlindungan konsumen mendefinisikan konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat. Baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun mkhluk hidup lain dan todak untuk diperdagangkan. Dari pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bhwa pemakai produk itu dapat perorangan atau badan usaha atau badan hukum. Hak dan kewajiban konsumen dalam Undang-undang perlindungan konsumen antara lain : Pasal 4 UU No. 8 tahun 1999 mengenai hak konsumen : 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa. 2. Hak untuk memilih barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa. 4. Hak untuk didengar pendapat atau keluhan atas barang atau jasa. 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa konsumen secara patut. 6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujr serta tidak diskriminatif. 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuat dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya. 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 5 UU No. 8 tahun 1999 mengenai kewajiban konsumen : 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan. 2. Beritikad baik dalam melakukan trnsaksi pembelian barang atau jasa.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yng disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2. Pengertian Produsen Produsen termasuk dalam pengertian pengusaha, sebab pengusaha dalam arti luas mencakup produsen dan pegadang perantara yaitu setiap orang atau badan usaha yng menghasilkan barang-barang untuk dipasarkan. Selanjutnya produsen dituntut oleh UU no. 8 tahun 19999 untuk taat terhadap hak dan kewajiban sebagai pelaku usaha/produsen. Pasal 6 Undang-undang tersebut, diatur mengenai hak pelaku usaha/produsen antara lain :

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang berlaku.
5.Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan atau garansi atas barang yang dibuat atau dipergunakan.
6. Memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantian kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan.
7. Memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantin barang atau jasa yang diterima atau dimanfaatjan tidak sesuai dengan perjanjian.


Pengertian tanggung Jawab, Tanggung Gugat, dan Dipertanggung jawabkan. Tanggung jawab berarti orang harus menanggung untuk menjawab segala perbuatannya atas segala yang menjadi kewajibannya dan di bawah pengawasaanya. Tanggung gugat berarti seseorang harus menanggung terhadap suatu gugatan yang disebabkan oleh perbuatannya yang merugikan orang lain. Dipertanggung jawabkan berarti orang harus dapat dipertanggungkan kepadanya yaitu keadaan jiwa yang memungkinkan dinyatakan bertanggung jawab terhadap suatu kelakuan dari perbuatannya. Dengan menggunakan pengertian di atas, maka tanggung gugat produk merupakan usaha untuk menanggung setiap gugatan yang timbul yang disebabkan oleh kerugin karena pemakaian suatu produk. Tanggung gugat produk makanan yang cacat, berarti tanggung gugat produsen dari produk makan yang merugikan konsumen karena adanya cacat, tentunya cacat yang tidak diketahui pada saat perjanjian itu dibuat. Adapun pengertian makanan cacat adalah makanan yang tidak sempurna, mulai dari proses penyiapan bahan baku, proses produksi sampai dengan pemasaran. Jika kemudian menimbulkan kerugian bagi konsumen maka di sana berarti terjadi cacat produksi. Menurut pendapat Blombergen bahwa tanggung jawab dapat menggunakan 2 dasar yakni : a. Tanggung gugat berdasar perjanjian. b. Tanggung gugat berdasar perbuatan melawan hukum. Selanjutnya setiap pengaduan konsumen tergadap kerugian yang dideritanya dari pelaku usaha dapat ditempuh melalui 2 cara yang disebut pada pasal 45 ayat 1 : 1. Gugatan kepada pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan produsen di luar perdilan dalam hal ini: Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)


Kemudian pasal 1865 KUH perdata menentukan pula bahwa setiap orang yng mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atas guna meneguhkan haknya sendiri, maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang dirugikan oleh peristiwa perbuatan/kelalaian, kurang hati-hati, berhak mendapat ganti rugi (kompensasi) atas kerugianny itu. Tetapi untuk mendapatkan hak ganti rugi tersebut undang-undang membebankan pembuktian kesalahan orang lain dalam peristiwa tersebut kepada mereka yang menggugat ganti rugi. Konsumen yang dirugikan oleh suatu produk dapat mengambil tindakan dengan cara menunjukkan/membuktikan. • Bahwa produk yang dibeli cacat • Bahwa cacat tersebut menyebabkan kerugian Bahwa cacat tersebut menyebabkan/menimbulkan bahaya Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam dunia perdagangan dan ekonomi di indonesia banyak sekali hal-hal yang harus diperhatikan,terutama konsumen yang seharusnya mendapatkan hak nya sebagai seorang konsumen , dan mendapatkan perlindungan dalam artian jaminan atas transaksi yang dilakukan antara produsen dan konsumen. Betapa pentingnya kepuasan konsumen untuk kemajuan dan kepercayaan perusahaan tersebut agar pelanggan atau konsumen betah dan tetap menjadi konsumen setia.

KESIMPULAN

Pada kesimpulannya kata perlindungan konsumen akan mengartikan atau mencernanya sebagai perlindungan terhadap para konsumen terutama dalam dunia perdagangan atau bisnis.Konsumen juga mendapatkan perlindungan yang berupa hukum-hukum.

REFERENSI

http://www.anneahira.com/artikel-umum/perlindungan-konsumen.htm

Hukum Perjanjian

REVIEW  JURNAL HUKUM PERJANJIAN

Nama Kelompok :
-Siti Hutami
-Singgih Pranoto
-Insia Fatwa
-Berry Alkata Nandalawi
-Yoga Pradipta

KELAS : 2EB06

Hukum Perjanjian

ABSTRAK

 Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendri atau objeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan ini. Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.

PENDAHULUAN

Perjanjian merupakan adanya peristiwa dimana seseorang berjanji dengan orang lain atau pihak lain untuk melaksanakan sesuatu atau untuk tujuan tertentu. pada mulanya dikonsep sebagai kontak antara yang membuat janji dengan yang berjanji kepada pihak tersebut.Akan tetapi dalam perjanjian sering kita temukan adanya ketidak tepatan dalam berjanji oleh seab itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,ketertiban umum maupun kesusilaan.


PEMBAHASAN

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu bab yang halal.
Menurut pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendri atau objeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan ini.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perixinan dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada azasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akilbalig dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan
3. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Syarat-syarat sah perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.
3. Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4. Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
Pembatalan perjanjian
Menurut pasal 1266 KUH Per membawa kedua pihak kembali seperti keadaan semula sebelum perjanjian diadakan, jadi perjanjian ini ditiadakan
Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian dibagi dalam tiga hal yaitu :
1. Perjanjian untuk memberikan penyerahan suatu barang
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan Prestasi
Perjanjian dari macam pertama adalah misalnya: jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa, pinjam-pakai. Suatu persoalan dalam hukum perjanjian ialah persoalan , apakah berhutang atau si debitur tidak menepati janjinya, si berpiutang atau kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu artinya apakah si berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut perjanjian.

KESIMPULAN

 Dengan adanya Hukum perjanjian maka dapat di simpulkan sebagai berikut :
Adanya perjanjian untuk memberikan penyerahan suatu barang serta adanya tindakan untuk melakukan sesuatu dan dalam pengertiannya Perjanjian merupakan hal yang tidak boleh di batalkan oleh satu pihak.

REFERENSI

 http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/tulisa

Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Review Jurnal Penyelesaian Sengketa Ekonomi


KELOMPOK SOFTSKILL
- Siti Hutami
- Berry Alkata Nandalawi
- Insya Fatwa
- Singgih Pranoto
- Yoga Pradipta

KELAS 2EB06

ABSTRAK

Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.

PENDAHULUAN

Penyelesaian sengketa ekonomi sering kali berkaitan dengan konflik yg terjadi dalam internal politik,kita bisa ambil contoh adanya bandit ekonomi yang ditulis oleh pengarang John Perkins,dalam bukunya kita dapat mengetahui hal-hal yang dianggap tabu dan layak diperbincangkan karena adanya sabotase-sabotase para politikus,kenapa bisa menyangkut ke arah politik? Oh yeah hal ini sangat sangkut paut dengan itu karena ekonomi tidak akan pernah lepas dari politik,mengapa demikian?karena para pengatur ekonomi juga didominasi oleh pemerintah dan pemerintah lah yang mengatur masalah ekonomi.

Pokok-pokok diatas menyebabkan sengketa bukan hanya dimasalah daerah ataupun tanah tetapi juga dikalangan ekonomi.Hal-hal masalah kekuasaaan,jabatan dan harta menjadi sangat riskan yang menyebabkan sengketa itu akan terjadi,terjadinya korupsi,kolusi dan nepotisme itu jugalah yang menyebabkan faktor utama sengketa ekonomi terjadi.


PEMBAHASAN

Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very expensive),
3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
Sistem Alternatif Yang Dikembangkan
a). Sistem Mediation
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way).
Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi:
1. bertujuan mencapai kompromi yang maksimal,
2. pada kompromi, para pihak sama-sama menang atau win-win,
3. oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.
Manfaat yang paling mennjol, antara lain:
1. Penyelesaian cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
2. Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3. Bersifat Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada peliputan oleh wartawan (no press coverage).
4. Bersifat Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a) informal, (b) fleksibel, (c) memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada mereka.
6. Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.
b). Sistem Minitrial
Sistem yang lain hampir sama dengan mediasi ialah minitrial. Sistem ini muncul di Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis, masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima persoalan yang diajukan pihak lain:
1. setelah itu baru mereka mengadakan perundingan (negotiation),
2. sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
c). Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1. pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai,
2. setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.
Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.
Di negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian mata rantai dari sistem penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
2. kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
3. ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui kosolidasi,
4. keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan perkaranya ke pengadilan (ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak langsung mencari penyelesaian melalui proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada saat sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka lebih suka mencari penyelesaian melalui sistem alternatif, daripada langsung mengajukan ke pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di atas, benar-benar menempatkan kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai the last resort, bukan lagi sebagai the first resort.
Biasanya lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase, arbitrase institusional, bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak sebagai conciliator adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional yang bersangkutan:
1. sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa bisnis,
2. hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan atau award (verdict),
3. oleh karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan,
4. dengan demikian, walaupun resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat) kepada para pihak, apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian selanjutnya harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
d). Sistem Adjudication
Sistem Adjudication merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang baru berkembang di beberapa negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.
Secara harafiah, pengertian “ajuddication” adalah putusan. Dan memang demikian halnya. Para pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka:
1. orang yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator
2. dan dia berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge),
3. oleh karena itu, dia diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang dapat menyelesaiakan, karena untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang spesialis profesional. Sengketa konstruksi misalnya. Tidak semua orang dapat menyelesaikan. Diperlukan seorang insinyur profesional. Di Hongkong misalnya. Sengketa mengenai pembangunan lapangan terbang ditempuh melalui lembaga adjudication oleh seorang adjudicator yang benar-benar ahli mengenai kontruksi lapangan terbang.
Proses penyelesaian sengketa meleui sistem ini, sangat sederhana. Apabila timbul sengketa:
1. para pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui adjudication,
2. berdasar persetujuan ini, mereka menunjuk seorang adjudicator yang benar-benar profesional,
3. dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi kewenangan (authority) kepada adjudicator untuk mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada kedua belah pihak (binding to each party),
4. sebelum mengambil keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua belah pihak, baik secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e). Sistem Arbitrase
Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
1. sederhana dan cepat (informal dan quick),
2. prinsip konfidensial,
3. diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari: (a) Biaya administrasi (b) Honor arbitrator. (c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator (d) Biaya saksi dan ahli. Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2. Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).



Kesimpulan

Dalam bab sengketa ekonomi ini adalah permasalahan yang harus diselesaikan dimana pihak politikus maupun organisasi kaum elit terpelajar juga ikut meramaikan sengketa ini,kompetesi atau perdebatan pasti terjadi dan dengan rumusan atau pembahasan di atas mudah-mudahan pembaca atau kita bisa paham dan mengerti bahwa sengketa ekonomi tidak hanya bisa diselesaikan dengan perdebatan-perdebatan urat saraf tetapi dengan jalur hukum yang sudah tertera dalam Undang Undang  Dasar yang ada.
Oleh sebab itu kita sebagai warga Indonesia yang taat hukum harus mengikuti pedoman-pedoman yang berlaku agar terciptanya keharmonisan dan keselarasan dalam bidang ekonomi,hal ini penting sebab jika tidak adanya aturan aturan yang baik,sektor ekonomi kita dapat kacau dan timbulnya hal hal yang tidak diinginkan seperti KKN,money laundry dan kejahatan yang lain.

REFERENSI

http://www.slideserve.com/akuntansiadua/penyelesaian-sengketa-ekonomi

Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Review Jurnal Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


KELOMPOK SOFTSKILL
- Berry Alkata Nandalawi
- Insya Fatwa
- Singgih Pranoto
- Siti Hutami
- Yoga Pradipta

KELAS 2EB06

ABSTRAK

Monopoli secara harfiah, "penjual tunggal." Sebuah situasi di mana satu perusahaan atau individu memproduksi dan menjual seluruh output dari beberapa barang atau jasa yang tersedia dalam pasar tertentu. Jika tidak ada pengganti dekat untuk barang atau jasa yang bersangkutan, monopoli akan dapat menetapkan kedua tingkat output dan harga pada tingkat tertentu untuk memaksimalkan keuntungan tanpa khawatir tentang menjadi melemahkan oleh pesaing (setidaknya dalam jangka pendek berjalan).


PENDAHULUAN

Anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yg berhubungan dengan etika persaingan perdagangan yang mengakibatkan adanya sektor yang dirugikan contohnya pengusaha-pengusaha yang melakukan  tindak kecurangan seperti penyuapan dan peraturan atas dasar hak sendiri dan tidak mempedulikan hukum yang berlaku dan merugikan orang lain.

Anti monopoli sebenernya tidak berpengaruh langsung kepada rakyat,tetapi dampak yang diakibatkan langsung ke pemerintahan dan akibat dari itu rakyat juga merasakanya,sebagai contoh adanya kecurangan terhadap permainan tender-tender pengusaha ternama,dan adanya pengusaha lain yang dirugikan akan merusak nilai nilai hukum dan terjadilah penyuapan maupun korupsi agar proyek tersebut dapat berhasil.


PEMBAHASAN

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat mengatur kegiatan bisnis yang baik dalam arti tidak merugikan pelaku usaha lain. Monopoli tidak dilarang dalam ekonomi pasar, sejauh dapat mematuhi “rambu-rambu” atau aturan hukum persaingan yang sehat. Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara di dunia harus “rela” membuka pasar domestik dari masuknya produk barang/jasa negara asing dalam perdagangan dan pasar bebas. Keadaan ini dapat mengancam ekonomi nasional dan pelanggaran usaha, apabila para pelaku usaha melakukan perbuatan tidak terpuji.

Pengaturan hukum persaingan usaha atau bisnis melalui UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (LN 1999 No. 33, TLN No. 3817) diberlakukan secara efektif pada tanggal 5 Maret 2000 merubah kegiatan bisnis dari praktik monopoli yang terselubung, diam-diam dan terbuka masa orde baru menuju praktik bisnis yang sehat. Pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1999 selama ini perlu dilakukan kaji ulang, guna mengetahui implikasi penerapan kompetisi yang “sehat” dan wajar di antara pengusaha atau pelaku usaha dalam sistem ekonomi (economic system) terhadap demokrasi ekonomi yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.

UU No. 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perangkat hukum untuk menunjang kegiatan bisnis yang sehat dalam upaya menghadapi sistem ekonomi pasar bebas dengan bergulirnya era globalisasi dunia dan demokrasi ekonomi yang diberlakukan di tanah air. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang dapat merugikan kegiatan ekonomi orang lain bahkan bagi bangsa dan negara ini dalam globalisasi ekonomi. Keberadaan undang-undang anti monopoli ini menjadi tolok ukur sejauh mana pemerintah mampu mengatur kegiatan bisnis yang sehat dan pengusaha mampu bersaing secara wajar dengan para pesaingnya.

Semua ini bertujuan untuk mendorong upaya efisiensi, investasi dan kemampuan adaptasi ekonomi bangsa dalam rangka menumbuhkembangkan potensi ekonomi rakyat, memperluas peluang usaha di dalam negeri (domestik) dan kemampuan bersaing dengan produk negara asing memasuki pasar tanah air yang terbuka dalam rangka perdagangan bebas (free trade).

Semua ini didasarkan pada pertimbangan setelah Indonesia menjadi anggota organisasi perdagangan dunia (WTO) dengan diratifikasi UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization pada tanggal 2 Nopember 1994 (LN Tahun 1994 No.95, TLN No. 3564).

Pada waktu bersamaan diharapkan pengusaha nasional mampu untuk bersaing dengan “sehat“ di pasar-pasar regional dan internasional pada iklim globalisasi ekonomi sebagai tata ekonomi dunia baru. Pengaturan persaingan bisnis juga bertujuan untuk menjamin usaha mikro dan usaha kecil mempunyai kesempatan yang sama dengan usaha menengah dan usaha besar atau konglomerasi dalam perkembangan ekonomi bangsa.

Pengaturan ini melindungi konsumen dengan harga yang bersaing dan produk alternatif dengan mutu tinggi mengingat pengaturan tersebut mencakup pada bidang manufaktur, produksi, transportasi, penawaran, penyimpanan barang dan pemberian jasa-jasa.
Persaingan usaha dapat terjadi dalam negosiasi perdagangan, aturan liberalisasi pasar dan inisiatif penanaman modal asing yang berpindah-pindah dikaitkan kebijakan pemerintah di dalam negeri untuk memenangkan persaingan bagi pengusaha nasional di pasar regional dan internasional.

Persaingan yang sehat di pasar dalam negeri merupakan bagian penting “public policy” pada pembangunan ekonomi yang dinyatakan TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004 dan TAP MPR RI No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional yang menegaskan “mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan mengganggu mekanisme pasar melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif yang dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang”.

Semua ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan kapasitas pengusaha nasional yang andal dan kuat bersaing di pasar regional dan internasional. Selain itu, kebijakan ekonomi pemerintah mampu meyakinkan para investor asing dan ekportir luar negeri mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing di pasar dalam negeri dengan pengusaha lokal/nasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Tujuan kebijakan persaingan usaha adalah menumbuhkan dan melindungi para pengusaha melakukan “persaingan sehat” yang dapat dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi. Persaingan antar perusahaan adalah pembeli dan penjual memiliki pilihan yang luas kepada siapa untuk berhubungan dagang. Tujuan lain mengurangi atau melarang terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu. Ekonomi pasar yang bersaing tidak terjadi dengan sendirinya.

Kompetisi yang sehat dalam kegiatan ekonomi negara harus diikuti kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi badan usaha yang tidak sehat atau failit (bangkrut). Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi pasar bebas agar kebijakan publik di bidang ekonomi yang merugikan kegiatan bisnis dapat dihilangkan. Akibat persaingan usaha, pengusaha dalam kegiatan bisnis melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat bahkan melampaui batas-batas negara dengan melanggar perdagangan dunia. Pada era globalisasi ekonomi, kesepakatan bisnis mengubah bentuk perdagangan dunia dalam waktu singkat menjadi perkampungan global (global village). Kesepakatan ini merugikan kepentingan negara-negara berkembang dan negara-negara miskin yang tidak siap menghadapi perubahan ekonomi dunia pasca dibentuknya WTO.

Globalisasi adalah upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi persaingan usaha dalam dua hal. Pertama, perdagangan antar negara menumbuhkan investasi dan produksi melewati batas-batas negara. Kegiatan yang berimplikasi persaingan, seperti praktik cross border pricing, hambatan masuk (barrier entry) dan pengambilalihan usaha dalam ekonomi baru bertambah. Kedua, pemerintah negara-negara berkembang khawatir terhadap kemampuan pengusaha nasional sehingga berusaha menciptakan lingkungan usaha yang sehat dan memungkinkan produk domestik oleh pengusaha mampu bersaing dengan manufaktur barang impor di dalam negeri dan sebagai eksportir masuk ke pasar luar negeri dalam rangka perdagangan dan pasar bebas.

Kebijakan persaingan usaha bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu dalam kegiatan bisnis. Akan tetapi kebijakan ini berlawanan dengan kepentingan dunia usaha memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, karena kebijakan persaingan usaha yaitu menambah kesejahteraan atau kepuasan konsumen dengan menyediakan pilihan produk baru dan menciptakan harga bersaing di antara produk tersedia untuk kebutuhan barang konsumsi sehari-hari. Selain itu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik dan memperbaiki alokasi efisiensi dalam kaitan sumber alam yang terbatas, memperbaiki kemampuan domestik untuk berpartisipasi pada pasar global, dan mendorong kesempatan sama ‘dunia usaha’ melalui kegiatan ekonomi yang sehat.

B. LARANGAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Percaturan dunia usaha yang semakin kompetitif dan komparatif dalam menggaet konsumen sebanyak-banyaknya dan memperluas pemasaran tidak dapat dielakkan lagi. Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis dalam upaya penguasaan pasar seluas-luasnya, baik di dalam maupun luar negeri. Perilaku usaha tidak sehat ini merugikan menciptakan pasar yang sehat dan adil.
Pada era Orde Baru di Indonesia, contohnya, monopoli yang dilakukan oleh Liem Sie Liong terhadap komoditi terigu, makanan fast food, semen dan kertas berjalan mulus karena taipan ini dekat dengan pusat kekuasaan, yaitu RI 1 alias Presiden Soeharto. Begitu juga halnya “Keluarga Cendana” yang menguasai tata niaga cengkeh, jeruk, bioskop dan jalan tol tidak dapat dihindarkan dengan kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru beraroma korupsi, kolusi dan nepotisme cenderung menguntungkan segelintir orang melalui ekonomi “terpusat”, yakni di tangan presiden. Praktek ketatanegaraan Indonesia saat itu menempatkan bahwa presiden tidak hanya sebagai penguasa di bidang politik dan hukum akan tetapi juga sebagai penguasa ekonomi.
Di Amerika Serikat sebagai negara demokrasi dan kapitalis ternyata praktek monopoli juga ada. Bill Gate dengan bendera bisnis, Microsoft memonopoli pangsa pasar penjualan software atau perangkat lunak komputer yang menimbulkan protes keras dari saingan bisnisnya, karena berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis Amerika Serikat yang membuka kebebasan usaha sebesar-besarnya bagi para pengusaha.
Selama ini di dunia, dikenal tiga bentuk sistem ekonomi yang dipakai oleh setiap negara dalam kegiatan ekonomi nasionalnya. Pertama, sistem ekonomi kapitalis (capital economy system), yakni sumber daya ekonomi dialokasikan melalui mekanisme pasar. Kedua, ekonomi yang direncanakan secara terpusat (centrally planned economy) di mana sumber daya ekonomi dialokasikan oleh pemerintah yang berkuasa. Ketiga, sistem ekonomi campuran (mixed economy system) di mana sumber daya ekonomi dialokasikan, baik oleh pasar maupun pemerintah secara bersama-sama.

Praktek penguasaan bisnis berupa monopoli (monopoly) dan persaingan usaha tidak sehat (unfair competition) yang sangat menonjol biasanya terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis dibandingkan pada sistem ekonomi yang direncanakan secara terpusat dan sistem ekonomi campuran. Sebab pada kedua sistem ekonomi terakhir ini, kontrol pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif kuat dalam perdagangan dengan adanya regulasi dan kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang cukup ketat. Sebaliknya, sistem ekonomi kapitalis dalam masyarakat liberal biasanya kontrol pihak pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif lebih longgar, karena adanya mekanisme pasar yang memberi kebebasan seluasnya kepada produsen dan konsumen untuk menentukan harga.
Monopoli yang tidak terkontrol dalam sistem ekonomi ini melahirkan monopoli pasar melalui cara praktik kartel, diskriminasi harga, pembagian pasar dan sebagainya.

Bahaya monopoli masyarakat Barat diungkapkan, “that the monopolist stops expanding output at the point where his marginal revenue and marginal cost cuves intersect”.
Monopoli ekonomi demikian tidak sehat, karena dapat mengurangi persaingan dalam kegiatan industri dan menghambat para pelaku ekonomi lainnya untuk memasuki bidang usaha tersebut. Merugikan kegiatan ekonomi atau bisnis adalah tiada persaingan usaha memungkinkan suatu perusahaan menaikkan harga semaunya di atas tingkat harga wajar, karena tidak ada produk alternatif untuk dipilih konsumen. Selain itu tidak mendorong perusahaan mencari penemuan baru, mengurangi atau menetapkan ongkos produksi yang rendah untuk barang/jasa atau memperbaiki teknologi produksi dalam persaingan dengan produk negara lain di pasar internasional dengan berlaku era globalisasi yang melibatkan “recognizing the particular genius of employee” perusahaan beroperasi di dunia tanpa melihat siapa orang atau kewarganegaraan. Keunggulan produk barang/jasa perusahaan menentukan dalam persaingan usaha antar negara dalam globalisasi ekonomi.

Penghargaan didasarkan atas karya atau produk yang hebat serta usaha untuk menciptakan kemajuan perusahaan tanpa batas dalam menghadapi persaingan bisnis.

Anthony Giddens menamakan era globalisasi ini sebagai runaway world atau dunia yang tidak terkendalikan akibat dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keadaan ini diramalkan semakin tidak terkendali dalam kegiatan ekonomi, terutama saat berlakunya Asean Free Trade Agreement (AFTA) tahun 2003, Asia Pacific Economic Co-operation (APEC) tahun 2010 dan World Free Trade tahun 2020 apabila praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pemerintah tidak mengaturnya dengan baik.

Persaingan pasar berjalan dengan baik apabila tidak ada tindakan diskriminatif atau restriktif oleh suatu negara terhadap produk negara lain. Tindakan diskriminatif dan restriktif dapat menimbulkan distorsi pasar bagi produsen negara-negara maju di pasar negara berkembang. Kebijakan ekonomi negara-negara berkembang dan miskin tentu ingin menyelamatkan produk dalam negeri yang berlawanan dengan perdagangan bebas, karena pengusha negara berkembang belum siap menghadapi persaingan pasar bebas dengan meningkatnya serbuan produk barang/jasa dari negara-negara maju.

Selama ini dalam sistem ekonomi kapitalis terdapat beberapa bentuk perbuatan monopoli yang dilarang undang-undang anti monopoli.

Pertama, horizontal merger. Tindakan ini dilakukan antara dua perusahaan besar dengan merger (penggabungan usaha) untuk menguasai pasar. Semula kedua perusahaan besar bersaing merebut pasar. Hasil merger menghapuskan persaingan.

Kedua, joint monopolization. Monopoli ini tidak dilakukan oleh satu perusahaan. Dua atau lebih perusahaan dapat bekerja sama dengan kekuatan mampu menciptakan monopoli. Misalnya tiga perusahaan sendiri-sendiri tidak mampu melakukan monopoli. Merger ketiga perusahaan menimbulkan praktik monopoli dalam kegiatan bisnis.

Ketiga, predatory. Tindakan dalam kegiatan bisnis yang membuat pelaku ekonomi baru tidak dapat memasuki pasar dengan bebas atau menimbulkan kerugian kepadanya, sehingga ia tidak dapat bersaing dengan baik.

Keempat, price discrimination (diskriminasi harga). Pelaku monopoli memiliki kekuasaan dengan intensif untuk melakukan diskriminasi harga. Melalui berbagai cara, pelaku monopoli bisa memisah-misahkan pembeli dalam kelas yang belainan dan menetapkan harga dengan ongkos yang lebih besar kepada pihak yang satu daripada pihak yang lain. Para pelaku monopoli dapat melakukannya secara terbuka, misalnya dengan menawarkan harga yang relatif lebih rendah kepada anak-anak muda, pensiunan, mahasiswa, pegawai pemerintah atau menjual produk yang sama dengan merek berlainan atau model biasa dan model luks. Diskriminasi harga dapat dilakukan secara rahasia dengan menawarkan diskon lebih besar dari ongkos atau harga jual dapat dihemat para pembeli besar sebagai hasil dari jumlah penjualan. Diskriminasi harga itu bertujuan untuk memaksimalkan atas benefits (keuntungan) pengusaha atau mematikan produsen lain yang
potensial menyaingi kegiatan usahanya.

Di Amerika Serikat, misalnya Undang-undang Anti Monopoli telah ada pada tahun 1890 dengan lahirnya The Sherman Antitrust Act. Undang-undang ini melarang setiap bentuk praktek monopoli atas suatu produk atau pemasaran barang dan atau jasa yang menghambat perdagangan (barrier trade) dalam kegiatan bisnis dan melindungi usaha kecil yang lemah.

Isi penting dari larangan monopoli The Sherman Act antara lain memuat masalah monopoli sebagai berikut :
Section 1 : ”Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several states, or with foreign nations, is declared to be illegal …”.
Section 2 : “Every person who shall monopolize, or attempt to monopolize, or combine or conspire with any other person or persons, to monopolize any part of the trade or commerce among the several states, or with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony …”.

Larangan praktek monopoli dalam The Sherman Act ditekankan pada penguasaan produksi dan pemasaran atas barang/jasa satu pelaku atau kelompok pelaku usaha dengan unsur larangan monopoli ini, yakni ”possesion of monopoly power in relevant market; willfull acquisition or maintenance of that power”. Artinya, kekuasaan atas monopoli merupakan hal yang penting dalam pemasaran, karena keinginan pengambilalihan atau menjaga agar kekuasaan tersebut tetap ada agar tidak ada persaingan pihak lain.

Untuk memperoleh kekuatan pasar, maka pengusaha kuat melakukan tindakan dengan menciptakan hambatan dalam perdagangan, menaikkan harga dan membatasi produk barang/jasa guna mendorong terjadi inefisiensi sehingga tindakan demikian dalam persaingan usaha yang sehat perlu dilakukan delegalisasi. Tiada persaingan perusahaan dari lain merupakan keinginan atau tujuan utama pengusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Keadaan ini menyebabkan konsumen dianggap sebagai “sapi perahan” dan bukan “raja” dalam kegiatan ekonomi. Artinya, hak konsumen untuk memperoleh harga wajar dan barang atau jasa yang baik diabaikan pengusaha yang ingin mengeruk keuntungan bisnis dalam waktu singkat. Tidak jarang pengusaha mempengaruhi tingkat penawaran meraih keuntungan berlipat ganda tanpa mempedulikan tingkat kemampuan ekonomi dari konsumen yang lemah untuk memperoleh barang/jasa. Sikap monopoli para pengusaha ini didasarkan pada akses kondisi dari competititve viability.

Di dalam perkembangan dunia usaha di Amerika Serikat selanjutnya, maka para pengusaha mempunyai berbagai cara untuk menghindarkan dikenakan The Sherman Act dalam kegiatan usaha untuk memonopoli pasar. Ulah pemilik usaha ini ternyata sangat merugikan kepentingan masyarakat.
Kemudian The Clayton Act lahir tahun 1914 sebagai penyempurnaan The Sherman Act mengatasi usaha mengarah kepada praktek monopoli.

The Clayton Act memuat empat praktek illegal namun bukan dianggap melanggar hukum, yakni
(1) price discrimination atau larangan diskriminasi harga,
(2) tying and exclusive dealing contracts atau penjualan barang membuat pihak pembeli tidak dapat saling berhubungan dengan perusahaan yang lain,
(3) corporate mergers atau penggabungan perusahaan yang dapat menimbulkan monopoli, dan
(4) interlocking directorates atau menduduki jabatan dari dua perusahaan yang bersaing.

Pada tahun yang sama,
Kongres Amerika Serikat menerbitkan The Federal Trade Commision Act (FTC) untuk melakukan investigasi, dengar pendapat atau menangani kasus-kasus pelanggaran hukum antimonopoli (antitrustlaws).

Pasal 5 FTC diamandemen tahun 1938 menegaskan, “Unfair methods of competition in or affecting commerce, and unfair or deceptive acts or practices in commerce, are hereby declared unlawful” atau diterjemahkan adalah cara-cara persaingan yang tidak terbuka atau berpengaruh terhadap perdagangan dan perbuatan atau praktek-praktek tidak jujur dan penuh tipu muslihat dalam perdagangan adalah perbuatan-perbuatan bertentangan dengan hukum.

Praktek monopoli dalam kegiatan bisnis sebenarnya tidak dilarang selama posisi pasar yang bersifat monopolistik dalam suatu mekanisme pasar yang sehat diperoleh dan dipertahankan melalui kemampuan, prediksi atau kejelian bisnis yang tinggi serta tidak merugikan pihak-pihak lain sebagai sesama pelaku ekonomi.
Suatu perusahaan yang mampu melakukan inovasi dengan adanya penemuan baru, maka perusahaan tersebut mempunyai posisi dominan atau monopoli atas produk barang tersebut. Monopoli atas penemuan baru itu diperoleh suatu korporasi (perusahaan) berdasarkan pada ketentuan hukum yang mengatur tentang hak atas kekayaan intelektual (HKI).
Adanya “payung hukum” demikian, monopoli mempunyai “kekuatan hukum” asalkan dalam batas-batas tertentu yang tidak merugikan bagi kepentingan pihak lain dalam kegiatan bisnis.
Demikian juga kalau terjadi suatu perusahaan yang tumbuh secara cepat dengan menawarkan kombinasi antara kualitas barang dan jasa dengan harga yang diinginkan oleh konsumen, pangsa pasarnya tumbuh dengan cepat, kemudian dapat dikatakan perusahaan tersebut telah meningkatkan kesejahteraan ekonomi, baik di pihak produsen maupun pihak konsumen. Tindakan monopoli dalam batas-batas tertentu ini masih dapat ditolerir dalam aturan hukum, terutama karena dianggap tidak merugikan kepentingan konsumen untuk memperoleh barang/jasa.

Praktik monopoli yang dilarang oleh undang-undang anti monopoli adalah monopoli yang menyebabkan terjadinya penentuan pasar, pembagian pasar dan konsentrasi pasar.

Sistem ekonomi pasar adalah cara terbaik guna menghindarkan praktek monopoli, karena dalam pasar itulah terjadi persaingan sehat di antara para pelaku usaha sehingga keluar sebagai “pemenang” adalah pihak yang benar-benar terbaik, paling kuat dan paling sehat (survival of the fittest).
Pasar bebas dianggap paling mendekati keadaan atau sifat alam yang bebas dan sehat dalam persaingan usaha sehingga gangguan dalam bentuk campur tangan dari pemerintah menghambat seleksi alamiah yang sehat.

Pada era globalisasi ekonomi, keberadaan perdagangan dan pasar bebas ini tidak dapat dihindarkan dalam persaingan usaha. Kesiapan pengusaha menyambut pasar bebas diperlukan agar produk pengusaha nasional tidak kalah bersaing merebut konsumen dari negara industri lain karena mengutamakan keunggulan kualitas produk barang/jasa yang dimiliki untuk bersaing dengan suasana pasar yang betul-betul sehat.
Pasar bebas adalah suatu mekanisme dalam kegiatan ekonomi yang terinci dan terkoordinasi di bawah sadar manusia dan sektor usaha melalui sistem harga dan pasar. Mekanisme ini merupakan alat komunikasi untuk menghimpun pengetahuan dan tindakan jutaan orang yang berlainan kepentingan dan tersebar di mana-mana dalam memilih suatu produk barang dan atau jasa yang diinginkannya. Tidak ada seorang pun dengan sengaja dapat merancang pasar, namun pasar tetap dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan mekanisme yang ada. Pasar adalah suatu mekanisme pada saat pembeli dan penjual suatu komoditi mengadakan interaksi untuk menentukan harga, kualitas dan kuantitas produk, sehingga harga disepakati bersama merupakan poros penyeimbang dalam mekanisme pasar yang terkendali.
Pasar demikian merupakan pasar yang dapat dioperasionalkan dengan efisien sepanjang pelaku usaha melakukannya dalam ”market in ideas”.

Pada era globalisasi ini, selera konsumen dapat berubah atau diubah dengan cepat. Umumnya “daur hidup” suatu produk barang makin lama makin pendek, karena adanya penemuan baru. Hal ini berarti dalam pasar bebas, persaingan antar perusahaan semakin tajam dan dalam prosesnya menuntut pula sistem pemasaran yang cepat dan murah atau mempengaruhi selera serta keinginan konsumen dengan tepat. Menghadapi persaingan semakin tajam, dorongan untuk memanipulasi informasi bagi konsumen oleh produsen di tanah air akan semakin besar pula dengan munculnya praktek monopoli dan oligopoli. Tuntutan peningkatan etika bisnis yang baik semakin keras. Masyarakat mengharapkan pelaku usaha bersaing sehat dengan melindungi kepentingan konsumen. Bobot reputasi usaha semakin besar dalam persaingan bisnis, apabila mampu mempertahankan dan mengembangkan produk barang/jasa berkualitas tinggi.

Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 menimbulkan persoalan pelaku usaha yakni dihadapkan undang-undang itu pada struktur dunia bisnis dibangun rejim Orde Baru, yang toleran bahkan pragmatis ditetapkan dalam kebijakan ekonomi pemerintah dalam bentuk monopoli dan oligopoli. Saat itu dunia bisnis Indonesia hanya berfungsi sebagai simpul pertemuan pelaku usaha sebagai pemburu rente (rente seeker) dan pejabat korup untuk bertujuan membangun kekuasaan. Situasi demikian berimplikasi ekonomi-politik dengan ketergantungan dunia usaha terhadap pemerintah berkuasa.
Kebijakan Pemerintah melalui Garis-garis Besar Haluan Negara bidang ekonomi waktu itu menetapkan bahwa jangka panjang dunia usaha memainkan peran sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Wajar diberikan fasilitas dan konsesi bagi pengusaha besar atau konglomerat yang berani berinvestasi berupa proteksi dan hak monopoli.

Pada perspektif industrialisasi nasional semua hal itu memperoleh pembenaran. Setiap negara yang baru muncul dalam membangun industri (infant industry) memilih untuk memproduksi barang pengganti impor dan membutuhkan proteksi pasar nasional. Industri pemula, tingkat efisiensi dan produktivitas masih rendah sehingga harga produksi cenderung mahal dan mutunya di bawah standar. Para pengusaha nasional saat itu belum mampu menciptakan dan merebut pasar (customize market), baik di dalam maupun luar negeri sehingga produk pengusaha perlu diproteksi dengan memberi kemudahan usaha. Pada jangka panjang, kebijakan ini dimaksudkan untuk mendidik dunia usaha mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan meningkatkan devisa ekspor dari barang/jasa dihasilkan dengan kekuatan sendiri dalam kegiatan ekonomi.
Perkembangan selanjutnya, kebijakan ini menjadi salah arah. Proteksi masih tetap diberikan pada saat dunia usaha harus menghadapi persaingan global yang semakin ketat.
Kesadaran baru muncul ketika budaya bisnis protektif, monopolistik dan oligopolistik menyebabkan terjadi krisis ekonomi tahun 1997 dan semua ini berjalan lama dan secara struktural menjadi pola dunia usaha dari Orde Baru. Dampak dari pola demikian telah melahirkan pola konglomerasi secara eksesif merusak tatanan ekonomi dan menghambat tercipta demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 UUD 1945. Tindakan itu dilakukan dengan tidak memberikan peluang sama bagi pengusaha terutama pengusaha ekonomi lemah. Kondisi pasar yang diciptakan Orde Baru bukan pada iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien akan tetapi justru mendorong terjadi praktik monopoli dan oligopoli.
Kondisi pasar monopoli dan tidak sehat ini merugikan dalam persaingan bisnis.

Ada tiga ekses akibat pasar monopoli-oligopoli :

Pertama, praktek bisnis monopolistik-oligopolistik adalah tidak adil dan tidak seimbang dalam mendistribusikan kekayaan ekonomi melalui beban rakyat dan keuntungan transaksi ekonomi diperoleh pelaku usaha.

Kedua, praktek bisnis monopolistik dan oligopolistik menciptakan inefisiensi ekonomi.

Ketiga, akibat ekonomi dan bisnis dikelola tidak rasional dan tidak transparan.
Keputusan politik dalam kegiatan bisnis diarahkan pada keuntungan segelintir pengusaha yang dekat dengan penguasa.

Muara dari ketiga persoalan di atas adalah terciptanya pasar domestik yang distortif atau terganggu. Keadaan distorsi ini terjadi, baik secara sektoral, regional maupun internasional yang sangat berpengaruh pada harga dan persaingan usaha yang sehat. Akibat distorsi ini adalah sukar terdeteksi kemampuan pasar dan pelaku usaha yang sebenarnya bersaing secara fair dalam kegiatan bisnis yang keras. Selain itu, sentimen pasar menjadi kabur dan irasional sehingga tidak terkendali secara wajar yang merugikan konsumen. Pasar menurut doktrinnya untuk mengejawantahkan ordo atau tatanan ekonomi yang harmonis berubah menjadi chaos and unpredicted.

Perubahan mendasar, perlu dilakukan guna memperbaiki sistem pasar yang baik. Memperbaiki struktur pasar bukan pekerjaan yang mudah akan tetapi bukan pula sulit jika ada kesamaan persepsi dalam rangka penerapan UU No. 5 Tahun 1999 pada tiga hal.

Pertama, UU ini secara subtansif memberi kepastian hukum bahwa iklim kebebasan berusaha memuat semangat ekonomi pasar bebas dan terbuka, hak dan kepentingan semua pihak tidak dilanggar secara unfair.

Kedua, UU ini dapat melindungi dan menjaga persaingan yang sehat di antara berbagai kekuatan ekonomi di pasar. Perlindungan dan jaminan terutama melalui “aturan main” yang transparan dan positif.

Ketiga, UU ini harus secara tegas memberikan kesempatan pelaku ekonomi lemah dapat berkembang bebas mel
akukan transformasi skala usaha ke arah yang lebih luas. Kesempatan ini seyogianya dapat dimanfaatkan oleh setiap usaha mikro, kecil dan menengah.

Sejauhmana masyarakat bisnis memperoleh persepsi yang sama pada substansi UU No. 5 Tahun 1999. Artinya, undang-undang itu harus dapat menghilangkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat merugikan kegiatan bisnis mengingat adanya sanksi pelanggaran usaha berupa sanksi administratif, sanksi pidana dan pidana tambahan.

Sosialisasi UU No. 5 Tahun 1999 secara intensif dilakukan tidak hanya pada lapisan masyarakat produsen (pengusaha) akan tetapi juga pada kalangan masyarakat konsumen menghindarkan terjadi peningkatan pelanggaran usaha. Pihak konsumen harus dilindungi dari produk barang/jasa para produsen yang tidak berkualitas dan merugikan masyarakat. Perlindungan usaha lemah dan konsumen diutamakan untuk menciptakan harmonisasi usaha yang sehat pada kegiatan bisnis. Implementasi undang-undang ini harus dapat pula memperbaiki kondisi pasar yang sehat dan adil bagi kegiatan bisnis di Indonesia

KESIMPULAN

Kesimpulannya adalah anti monopoli dan persaingan usaha yg tidak sehat dapat diatasi dengan adanya UUD yg melindungi persaingan usaha seperti yg dibahas dalam pembahasan.sehingga kapasitas pengusaha nasional dalam mengahadapi persaingan akan semakin matang sehingga pengusaha dalam negri un semakin maju dalam persaingan usaha.

REFERENSI

http://my.opera.com/asamiaurora/blog/2011/05/13/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat-2

Pengertian Hukum dan Hukum ekonomi


Review Jurnal Pengertian Hukum dan Hukum ekonomi


KELOMPOK SOFTSKILL
- Berry Alkata Nandalawi
- Insya Fatwa
- Singgih Pranoto
- Siti Hutami
- Yoga Pradipta

KELAS 2EB06

ABSTRAK

Hukum adalah keseluruhan norma yang oleh penguasa masyarakat yang berwenang menetapkan hukum, dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.

PENDAHULUAN

Hukum Ekonomi merupakan suatu Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum hukum ini dibuat dengan tujuan untuk mengatur kegiatan perekonomian indonesia.hukum ekonomi berisi tentang hal-hal dalam kinerja perekonomian yg sehat.seperti persaingan sehat,perluasan perdagangan dan lain-lain.

PEMBAHASAN

Pengertian Hukum
Banyak tokoh yang mempunyai pendapat masing-masing tentang hukum, diantaranya:
a. Aristetoles
Hukum adalah dimana masyarakat menaati dan menerapkannya dalam anggotanya sendiri
b. Grotus
Hukum adalah salah satu aturan dari tindakan moral yang mewajibkan pada suatu yang benar
c. Wiryono Kusumo
Hukum adalah keseluruhan peraturan yang baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakatdan terhadap pelanggaranya akan dikenakan sanksi.
d. Van Kan
Hukum merupakan keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
e. Utrecht
Hukum merupakan himpunan peraturan (baik berupa perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah.
c. Menurut Wiryono Kusumo
Hukum adalah merupakan keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi.
Hukum terdiri atas beberapa unsur :
1. peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. peraturan itu bersifat mengikat dan memaksa.
3. peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi
4. pelanggarannya terhadap peraturan tersebut dikenakan sanksi.
Kodifikasi Hukum
Adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.
Ditinjau dari segi bentuknya hukum dibedakan menjadi 2,yaitu :
a. Hukum Tertulis
Adalah hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan-peraturan
b. Hukum Tidak Tertulis
Adalah hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tetulis namun berlakunya ditaati seperti peraturan perundangan ( hukum kebiasaan )
Menurut teori ada 2 macam hukum kodifikasi, yaitu :
1. Kodifikasi terbuka adalah kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya tambahan-tambahan di luar induk kodifikasi
2. kodifikasi tertutup adalah semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan ke dalam kodifikasi atau buku kumpulan peraturan.
Unsur-unsur dari suatu kodifikasi :
a. jenis-jenis hukum tertentu
b. Sistematis
c. Lengkap
Tujuan Kodifikasi Hukum Tertulis untuk memperoleh:
a. Kepastian hukum
b. Penyederhanaan hukum
c. Kesatuan hukum
Contoh kodifikasi hukum :
- Di Eropa
Corpus Iuris Civilis, yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari kerajaan Romawi Timur tahun 527-565
- Di Indonesia
a. kitab Undang-Undang Hukum Sipil (1 Mei 1848)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei 1848)
Pengertian Ekonomi
Ekonomi bersal dari kata yunani (oikos) yang berarti keluarga, rumah tangga dan (nomos) berarti peraturan, aturan, hukum.
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran.
Pengertian Hukum Ekonomi
Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
Menurut Sunaryati Hartono, hukum ekonomi adalah penjabaran hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi social, sehingga hukum ekonomi tersebut mempunyai 2 aspek yaitu :
a. Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi
b. Aspek engaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara merata diantara seluruh lapisan masyarakat.
Hukum ekonomi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
a. hukum ekonomi pembangunan
b. Hukum ekonomi social
Hukum di Indonesia menganut asas sebagai berikut :
a. asas keimanan
b. asas manfaat
c. asas demokrasi
d. asas adil dan merata
e. asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan
f. asas hukum
g. asas kemandirian
asas keuangan
i. asas ilmu pengetahuan
j. asas kebersamaan, kekeluargaan, keseimbangan dalam kemakmuran rakyat
k. asas pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
l. asas kemandirian yang berwawasan kenegaraan
.KAIDAH / NORMA
Dalam Pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai macam kaidah (Norma), yang tujuannya untuk menciptakan kehidupan yang lebih aman dan tertib.
Perbedaan Antara Norma Hukum dan Norma Sosial
Norma Hukum
• Aturannya pasti (tertulis)
• Mengikat semua orang
• Memiliki alat penegak aturan
• Dibuat oleh penguasa
• Sangsinya berat
Norma Sosial
• Kadang aturannya tidak pasti dan tidak tertulis
• Ada/ tidaknya alat penegak tidak pasti (kadang ada, kadang tidak ada)
• Dibuat oleh masyarakat
• Sangsinya ringan.


KESIMPULAN

Hukum ekonomi dapat disimpulkan sebagai suatu aturan main dalam kegiatan [perekonomian yg dihadapkan dalam persaingan ekonomi yg sehat.

REFERENSI

http://paskalinaani.wordpress.com/2012/03/31/pengertian-hukum-hukum-ekonomi/